Hasil Penelitian Wanita Yang Berprofesi Sebagai Pialang Saham

WORK LIFE BALANCED (WLB) PADA WANITA  YANG BERPROFESI SEBAGAI PIALANG SAHAM


Pada era sebelumnya, peran wanita hanya sebatas mengurusi pekerjaan rumah tangga dan juga mengurusi anak, namun seiring dengan perubahan zaman, saat ini wanita telah banyak yang berpendidikan tinggi, dan akhirnya banyak juga wanita yang memilih untuk bekerja kantor. Menurut Harian Waspada Online, menunjukkan bahwa sebanyak 135 juta wanita Indonesia, 65 persennya berprofesi sebagai wanita karir dengan usia produktif 25-45 tahun. Di samping itu, suara merdeka.com (2012) juga menyebutkan Harvard Business Review (2014) dan survei dari Komunitas Manajemen Sumber Daya Manusia di Amerika telah melakukan riset mengenai wanita karir yang sudah menikah dan memiliki anak mengalami dilema dan stres karena kesulitan mengurus anak, sementara kontribusinya ditunggu bagi kemajuan perusahaan. 

Berdasarkan isu tersebut, sebagai wanita karir memang sulit sekali menyeimbangkan diri untuk kehidupan kerjanya dan kehidupan pribadinyanya. Jika wanita karir tidak bisa menjaga keseimbangan dan bekerja terlalu banyak dalam pengaturan organisasi, maka akan menimbulkan  gangguan medis, psikologis, dan konsekuensi perilaku. Salah satu gangguan psikologis yang diterima karena terlalu sibuk akan pekerjaannya adalah stres, dan hal tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan pekerja, karena dengan stres, seseorang mudah terserang penyakit terutama jantung dan stroke, tetapi saat ini ada beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mengelola stres, yaitu dengan Work-Life Balanced yang bisa diciptakan oleh individu sendiri maupun organisasi tempat ia bekerja. 

Greenhaus dan Allen dalam Paula, B dan Kalliath, T. (2007) mendefinisikan Work-Life Balanced merupakan sejauh mana efektifitas dan kepuasan individu dalam menjalankan peran pekerjaan serta keluarga yang sesuai dengan prioritas peran individu pada suatu titik waktu tertentu. Salah satu cara dalam pencapaian Work-Life Balanced bagi seorang wanita karir adalah pulang kerja tepat waktu, tidak membawa pekerjaan ke rumah, manajemen waktu, relaksasi, jam kerja yang fleksibel, serta berlatih keseimbangan kehidupan. 
Pialang saham adalah salah satu profesi pekerjaan yang butuh konsentrasi tinggi dan waktu kerja pun tidak pasti karena senantiasa harus mengawasi posisi saham apakah berada di level yang aman atau mengkhawatirkan, bahkan tidak tidur selama beberapa hari pun, sudah menjadi hal biasa. Bagi seorang pria, profesi pialang saham, tidaklah begitu bermasalah, tetapi bagaimana bagi seorang wanita yang sudah menikah, yang harus juga membagi waktunya untuk keluarganya, sementara kondisi pekerjaan yang hampir selalu 24 jam.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka si peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana strategi wanita karir yang berprofesi sebagai pialang saham dalam mengupayakan Work-Life Balanced (WLB) dengan kondisi kerja yang penuh tekanan dan harus siap setiap 24 jam dalam memantau harga saham dan juga harus mengurus rumah tangga, di sisi lain pun kehidupan pribadi juga membutuhkan perhatian. 

Wanita Karir (Career Women)


Sebelum mendefinisikan mengenai arti dari wanita karir, terlebih dahulu melihat definisi dari karir itu sendiri. Menurut Cascio (2002) mengemukakan bahwa karir dapat dipandang dari dua macam perspektif, yaitu perspektif objektif dan subjektif. Dari segi perspektif objektif, karir adalah urutan posisi seseorang yang dibawa selama hidupnya. Sedangkan menurut perspektif subjektif, karir membentuk  nilai, sikap, dan motivasi yang ingin di capai oleh seseorang. Sedangkan menurut Flippo (1984) dalam Utami (2011) mengungkapkan bahwa karir adalah pengalaman berseri yang secara tidak langsung akan menyebabkan peningkatan terhadap tanggung jawab, status, otoritas, dan kompensasi. Setelah melihat dari dua definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa karir adalah posisi yang ingin di capai seseorang untuk meningkatkan harga diri dan meningkatkan perekonomian dalam sebuah profesi. 

Berdasarkan pengertian karir yang telah di sebutkan sebelumnya, maka jika dikaitkan dengan pengertian wanita karir adalah posisi yang diinginkan oleh seorang wanita dengan tujuan meningkatkan status pribadi sebagai wanita sukses dan memajukan taraf hidup perekonomian keluarga. Disisi lain,  Anoraga (2006) mengungkapkan bahwa wanita karir adalah seorang wanita yang bekerja dan memiliki keinginan untuk mengembangkan diri sebagai karyawan dalam upaya peningkatan karirnya. Wanita yang bekerja memiliki sebuah kesempatan untuk mengaktualisasi diri mereka melalui kreatifitas dan produktifitas yang mereka ciptakan. Ada kebanggan tersendiri jika mereka bisa melakukan hal tersebut. 

Kemudian O’Neil, Margaret, dan Diane (2008) mengungkapkan bahwa wanita karir identik dengan mencari arti dan identitas dalam hidupnya yang akan membawa mereka pada kepercayaan diri dan kebahagiaan. Selanjutnya Wesman, Vincur, Hamilton dan Ruziner (2004) mengkonfirmasikan bahwa wanita karir lebih memiliki perasaan positif dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja.

Berdasar beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wanita karir adalah wanita yang menganggap pekerjaannya adalah sebuah jalan untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan potensi mereka.

Tantangan Wanita Karir


Menjadi wanita karir selain memiliki keuntungan, tetapi juga ada tantangan sendiri, yaitu konflik dengan pengaturan waktu, baik untuk keluarga, diri sendiri, dan pekerjaan.  Secara lebbih lanjut, Mitchell (2005) menyatakan dalam survey yang dilakukan oleh Australian Survey of Social Attitudes tahun 2003, diperoleh bahwa lamanya jam kerja memang berpengaruh terhadap status pernikahan, jika antara suami dan istri bekerja sehingga memperoleh dual income, kecenderungannya pada pihak perempuan kurang puas terhadap lamanya jam kerja mereka, dikarenakan pihak suami sebagai partner kurang bisa berkontribusi terhadap pekerjaan rumah. Inilah mengapa perempuan di Australia menurut Booth dan van Ours (2005) lebih bahagia bekerja dengan waktu kerja yang pendek. Keseimbangan hidup dan kerja yang lebih baik tidak hanya mengenai fleksibilitas kerja melainkan bagaimana laki-laki mampu berbagi peran dalam tanggung jawab keluarga. 

Pernyataan tersebut di dukung pula oleh Harvard Business Review(2014) dan survei dari Komunitas Manajemen Sumber Daya Manusia di Amerika, terungkap, kebanyakan wanita karir yang sudah menikah dan mempunyai anak mengalami dilema dan stres karena kesulitan mengurus anak, sementara kontribusinya ditunggu bagi kemajuan perusahaan.Disebutkan pula dalam penelitian tersebut bahwa  rata-rata ibu bekerja memerlukan 84 jam kerja per minggu, sementara ayah memerlukan 72 jam dan orang-orang yang sudah menikah tapi belum memiliki anak memerlukan waktu 50 jam per minggu. Pria bekerja dan sudah menikah, umumnya tidak akan mendapat pertanyaan mengenai masalah penanganan anak. 

Profesi Pialang saham


Pialang saham adalah sebuah profesi yang tugasnya identik dengan perdagangan saham. Seorang pialang saham harus memiliki keuletan untuk selalu memperbaharui informasi mengenai dunia saham dan juga memiliki ketelitian serta kecerdasan dalam mengelola saham, jika tidak memiliki skill tersebut, maka pialang saham dikatakan  tidak kompeten dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu, seorang pialang saham juga tidak lepas untuk selalu berkomunikasi untuk melaporkan pergerakan saham terhadap kliennya. Oleh karena itu, bisa dibayangkan jika bagaimana beban kerja seorang pialang saham, hampir sama seperti dokter 24 jam yang harus selalu menjaga keadaan pasiennya, tetapi yang ini berupa saham bentuknya. Jam kerjanya pun tidak pasti, dan ini seringkali menimbulkan beban kerja yang tinggi tetapi walaupun begitu, minat profesi pialang saham pun semakin meningkat tak terkecuali oleh wanita yang memutuskan berkarir menjadi pialang saham. 

Setiap orang tentunya ingin membutuhkan keseimbangan hidup antarakehidupan pribadi dan kehidupan kerja (Work Life Balance), jika hanya berfokus pada satu hal saja makaakan mengurangi produktifitas diri, sehingga kejenuhan akan melanda dan akan merasa bahwa kehidupan tidak memiliki arti. Tidak adanya Work-Life Balancedjuga akan mengakibatkan gangguan medis, psikologis, dan konsekuensi perilaku. Salah satu gangguan psikologis yang diterima karena terlalu sibuk akan pekerjaannya adalah stres, dan hal tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan pekerja, karena dengan stres, seseorang mudah terserang penyakit terutama jantung dan stroke, tetapi saat ini ada beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mengelola stres, yaitu manajemen waktu, relaksasi, jam kerja yang fleksibel, serta berlatih keseimbangan kehidupan. 

Selain peran serta individu dalam upaya menjaga keseimbangan, perlu juga di dukung oleh peran serta organisasi yang mendukung work life balance bagi pekerjanya dengan cara penerapan waktu yang ketat mengenai pulang kantor, libatkan para pekerja dalam kegiatan yang menyenangkan.

Pemahaman mengenai ketidak seimbangan hubungan antara kerja dan hidup / keluarga (Work-Life Balanced) mempengaruhi kesehatan serta kinerja baik itu individu, keluarga, dan organisasi telah mendorong berbagai penelitian terkait dengan bagaimana Work-Life Balanced diterapkan. Work-Life Balanced sendiri, memiliki berbagai definisi, yaitu:

  1. Perspektif pertama melihat individu dengan berbagai peran dalam keseharian (non work) – sebagai anak, suami / istri, ayah, teman – dimana peran tersebut terbawa dalam lingkungan kerja sehari-hari dan mempengaruhi kesehatan serta kinerja individu tersebut saat bekerja. Relasi antara keduanya mirip model zig-zag, ‘home to work’ dan work to home’ (Greenhaus dan Beutell). Berdasar perspektif tersebut, Greenhaus dkk (2002) mendefenisikan secara lebih luas Work-Life Balanced dengan keseimbangan yang tercermin dari berbagai peran yang dijalankan oleh individu (inter roles phenomenon). 
  2. Greenhaus dkk (2002) lebih lanjut meneliti mengenai berbagai peran yang dijalani individu dengan mengkaitkannya pada kesamaan pembagian waktu yang dapat mempengaruhi kepuasan individu dalam kerja dan hidup yang dijalani. Work-Life Balanced adalah meningkatnya hubungan antara peran dalam kerja dengan peran dalam keluarga pada individu. 
  3. Kirchmeyer dalam Greenhaus (2002) mendefenisikan Work-Life Balanced sebagai pencapaian pengalaman-pengalaman yang memuaskan (positif) dalam berbagai segi kehidupan dan untuk mencapainya membutuhkan energi, waktu, serta komitmen. Clark mendefinisikan Work-Life Balanced sebagai kepuasan dan berjalannya fungsi yang baik antara kerja dan keluarga dengan sedikitnya konflik peran yang terjadi.
  4. Gambaran mengenai pengertian Work-Life Balanced terkait kepuasan menggarisbawahi bahwa peran yang dijalani individu baik sebagai pekerja atau dalam keluarga sangat penting buat mereka, dan hal ini bukanlah bersifat statis melainkan mengalami perubahan dari waktu ke waktu (promosi jabatan, kelahiran anaknya, juga pasangan / orang tuanya sakit). Greenhaus dan Allen dalam Greenhaus (2002) mendefinisikan Work-Life Balanced merupakan sejauh mana efektifitas dan kepuasan individu dalam menjalankan peran pekerjaan serta keluarga yang sesuai dengan prioritas peran individu pada suatu titik waktu tertentu.
  5. Pengertian Work-Life Balanced menurut Frone adalah tidak ada / rendahnya konflik antar peran yang muncul dan meningkatnya fasilitation (support dan saling membantu) antar peran dalam kehidupan kerja dan keluarga.
  6. Meskipun definisi ini kurang mendapat dukungan dari beberapa literatur sebelumnya, namun Work-Life Balanced dapat di artikan sejauh mana tingkat otonomi individu terhadap peran yang mereka jalankan sebagaimana Fleetwood dalam Greenhaus (2002) mendefinisikan Work-Life Balanced sebagai individu yang memiliki kekuatan untuk mengontrol kapan, dimana, dan bagaimana mereka bekerja. Misal: seseorang yang dapat mengurangi jam kerjanya untuk menghabiskan waktu bersama anaknya yang baru lahir. 
Berdasarkan keenam definisi terkait dengan Work-Life Balanced terdapat dua inti didalamnya: persepsi tentang keseimbangan itu sendiri dan memiliki sifat dinamis, dengan kata lain, Work-Life Balanced adalah persepsi individu dimana aktivitas kerja dan keluarga (non-work) yang dilakukan tepat dan mendorong pertumbuhan sesuai dengan prioritas hidup individu saat itu.

Strategi Membangun Work-Life Balanced


Membentuk keseimbangan hidup bukanlah hal yang mudah, apalagi jika memiliki banyak tututan peran seperti pada pekerjaan, keluarga, diri sendiri atau bahkan masyrakat, oleh karena itu di butuhkan beberapa strategi yang dapat digunakan dalam membentuk Work-Life Balanced (Fisher: 2006), diantaranya:

  1. Alternating. Salah satu strategi dimana seseorang bisa menyusun kegiatan alternatif, seperti melakukan relaksasi di tengah-tengah pekerjaan yang padat.
  2. Outsourcing. Suatu strategi dimana seseorang bisa mewakilkan beberapa pekerjaan yang bersifat sampingan atau menjadi prioritas kedua kepada orang lain, tetapi tetap memegang pekerjaan wajibnya.
  3. Bundling. Suatu strategi dimana melakukan beberapa aktifitas dalam waktu bersamaan. Contoh: Menemani anak belajar sambil mengerjakan tugas-tugas laporan dari kantor. 
  4. Tecflexing. Suatu strategi dimana memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk menyelesaikan pekerjaan sehingga waktu yang digunakan bisa lebih fleksibel.
  5. Simplifying. Suatu strategi dimana seseorang mengurangi beberapa pekerjaan yang tidak perlu. Pengurangan didasarkan pada kebutuhan,nilai ekonomi, serta keuntungan yang akan diperoleh individu.
Berdasar dari kelima strategi tersebut, strategi outsourcing adalah yang paling banyak digunakan untuk individu-individu yang berkarir. Mereka dapat mendelegasikan tugas kepada orang lain untuk tugas-tugas yang bersifat sampingan, dan tetap memegang sendiri tugas-tugas utama.

Manfaat Work-Life Balanced


Work-Life Balanced memiliki manfaat yang penting bagi individu maupun organisasi. Bagi individu adalah terciptanya keseimbangan hidup, kesehatan yang baik, dan kebahagiaan. Disamping itu, Nickerson (2006) menambahkan bahwa manfaat WLB bagi individu meliputi 5 hal, yaitu kesehatan fisik, kesehatan mental, hubungan interpersonal, produktivitas, dan kreativitas. Kemudian bagi organisasi atau perusahaan, manfaat WLB akan berdampak positif  karena dengan keseimbangan hidup yang dimiliki oleh karyawan, maka kinerja akan lebih maksimal dan pada akhirnya memberi keuntungan sendiri bagi perusahaan. Kemudian Locket (2008) mengungkapkan beberapa keuntungan yang dialami karyawan yang telah memiliki keseimbangan hidup adalah:
  1. Meningkatnya komitmen karyawan terhadap perusahaan
  2. Menurunnya tingkat turnover karyawan
  3. Menurunnya tingkat absen karyawan
  4. Meningkatnya kemampuan perusahaan dalam menarik dan merekrut staff
  5. Meningkatnya kesehatan dan keselamatan karyawan
  6. Menurunkan stres dan meningkatkan produktivitas
Kerangka Pikir

Berdasar pemaparan permasalahan dan teori yang telah dikemukakan, maka kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:  
Wanita yang sudah menikah saat ini tidak hanya berfokus dalam urusan rumah tangga saja, tetapi ada peran lain yang harus mereka jalankan, yaitu dari dimensi pekerjaan, masyarakat, dan diri pribadi. Kompleksitas terjadi saat adanya tuntutan dari masing-masing dimensi yang harus dipenuhi. Kondisi-kondisi tersebut secara tidak langsung memunculkan stressor, dan akan berpengaruh pada gangguan fisik, mental, serta interaksi sosial. Oleh karena itu, sangat diperlukan sekali strategi untuk menyeimbangkan pemenuhan peran dalam semua dimensi. Menurut Sandholtz, dkk (2002) dan Fisher (2006), strategi Work-Life Balanceddapat dilakukan dengan cara outsourcing, alternating, bundling, techflexing, dan simplyfying. Kelima strategi tersebut dapat membantu wanita karir dalam memenuhi keseimbangan antara pekerjaan (Work) dan diluar pekerjaan (Life). 

Strategi-strategi Work-Life Balanced dapat dilakukan secara berkesinambungan pada keempat dimensi tanpa harus meninggalkan dimensi tertentu. Secara lebih lanjut mengenai strategi Work-Life Balanced, di jelaskan bahwa outsourcing merupakan strategi kunci dalam mencapai keberhasilan untuk melakukan strategi-strategi  seperti alternating, bundling, techflexing, dan simplyfying. Namun demikian, ada beberapa faktor yang dapat mendukung upaya wanita karir yang telah menikah dalam mencapai Work-Life Balanced. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi kedalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal yang mempengaruhi Work-Life Balancedadalah karakteristik individu dan spiritualitas. Sedangkan faktor eksternal yang dapat membantu Work-Life Balancedadalah lingkungan kerja yang supportif, dukungan sosial, jam kerja, nilai budaya, dan jumlah anak. Selanjutnya, wanita karir yang memiliki pengaturan positif terhadap dirinya kemudian didukung oleh lingkungan kerja dan lkeluarga, secara tidak langsung akan dapat membangun strategi Work-Life Balanced untuk mengatasi steressor dari setiap dimensi peran. 

METODE PENELITIAN


Pendekatan Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Bogdan & Taylor dalam Moleong (2006), penelitian kualitatif adalah prosedur penelititian yang menghasilkan data deskriptif baik dari perkataan lisan maupun tulisan dari subjek dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik (utuh). Metode kualitatif ini dipilih karena dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena, mendapatkan wawasan tentang sesuatu maupun rincian yang kompleks yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif (Moleong: 2006).

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini menekankan pada proses, bersifat deskriptif, tertarik pada makna (bagaimana orang memandang hidup), menganggap peneliti sebagai instrumen pokok dan bersifat induktif (Moleong: 2006). Pada penelitian kualitatif ini, peneliti akan melaporkan secara naratif semua informasi dan data dari para narasumber secara empiris, dengan memfokuskan pada masalah Work-Life Balancedpada wanita karir yang berprofesi sebagai pialang saham. 

Fokus Penelitian


Penelitian ini berfokus untuk mengetahui bagaimana strategi Work-Life Balancedpada wanita karir yang sudah berumah tangga dan berprofesi sebagai pialang saham. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode fenomenologi.

Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan di salah satu perusahaan saham, yaitu “Milenium” didaerah gejayan di depan pasar Demangan di mana tempat si subjek bekerja, kemudian dilanjutkan di rumah si subjek yang berlokasi di Samirono Baru no.36, Sleman, Yogyakarta.


Sumber Data


Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi:
  1. Sumber data primer. Sumber data yang berasal yang secara langsung di dapat dari subjek penelitian. Data tersebut di peroleh melalui wawancara langsung dengan subjek penelitian, yaitu wanita karir yang berprofesi sebagai pialang saham.
  2. Sumber data sekunder. Sumber data yang diperoleh dari orang-orang atau organisasi yang dapat mendukung data penelitian. Data penelitian ini diperoleh dari wawancara dan observasi anggota keluarga dari si wanita karir tersebut sehingga bisa memberikan konfirmasi keberadaan dari informasi yang diperoleh. 

Subjek Penelitian


Karakteristik subjek penelitian ini adalah seorang wanita karir yang berusia 45 tahun, telah menikah, berpendidikan S1 dan berprofesi sebagai pialang saham. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak satu orang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu, yaitu: sesuai dengan fokus permasalahan yang akan diteliti, lokasi penelitian yang strategis, serta bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.

Metode Pengumpulan Data


Dalam penelitiaan ini, peneliti menggunakan 2 teknik pengumpulan data, yaitu :
1. Wawancara 
2. Observasi

Instrumen Penelitian


Instrumen dalam penelitian ini adalah diri si peneliti sendiri. Kedudukan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data dan sekaligus menjadi pelopor hasil penelitian. Selain itu, peneliti akan menggunakan instrumen penunjang seperti alat tulis, recorder, notes dan lainnya yang dirasakan efektif. 

Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan adalah tematik. Hasil temuan lapangan diproses berdasarkan tema- tema yang sesuai dengan kerangka pemikiran. Dalam melakukan proses analisis data tematik, penulis melakukan pengorganisasikan data, pengelompokkan berdasarkan kategori, tema, dan pola jawaban, pengujian asumsi atau permasalahan yang ada terhadap data, mencari alternatif penjelasan bagi data, dan  penulisan hasil penelitian (Moleong, 2006). 

Kemudian, penelitian ini akan dianalisis open coding, yaitu peneliti akan melakukan kegiatan pemberian nama dan pengelompokkan fenomena dari data yang telah diperoleh Dalam open coding, pertama-tama data harus disegmentasikan, dimana setiap ekspresi diklasifikasikan ke dalam unit maknanya masing-masing. Kemudian, satuan unit tersebut harus dapat berdiri sendiri serta “heuristik” atau mengarah pada satu pengertian atau satu tindakan yang diperlukan atau akan dilakukan (Moleong, 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini dilakukan berawal dari rasa ketertarikan peneliti pada kehidupan wanita karir. Secara kebetulan, tidak jauh dari tempat tinggal peneliti, terdapat sebuah keluarga, dimana isterinya, yang berinisial W berprofesi sebagai seorang pialang saham di suatu perusahaan pialang di kota Yogyakarta. Akhirnya peneliti pun mencoba berkunjung ke rumah wanita tersebut dan berusaha melakukan rapport agar timbul kedekatan dalam membangun kepercayaan untuk menceritakan pengalamannya. Proses wawancara dibantu dengan panduan pertanyaan wawancara, alat perekam, dan notes. Panduan wawancara sebenarnya bukan bertujuan untuk membatasi pertanyaan, tetapi lebih kepada fokus pada tujuan, yaitu mendapatkan informasi yang penting dan sesuai, dan pada saat wawancara peneliti tidak semata-mata hanya melihat panduan wawancara tetapi berdasar pertanyaan yang mengalir dan terus dikembangkan. Sedangkan alat perekam dipergunakan untuk membantu peneliti menulis transkrip hasil wawancara. Di samping itu, kunjungan peneliti yang sering ke rumah responden dan pertemuan dengan anggota keluarga yang lain membantu dalam proses verifikasi informasi yang diberikan oleh responden. 

Pada penelitian ini ditemukan orientasi tujuan responden untuk mencapai Work-Life Balanced, yaitu keseimbangan antara pekerjaan dengan gaji tetap dan kehidupan diluar pekerjaan, yaitu keluarga, sosial, dan diri pribadi. Fokus dari penelitian ini adalah bagaimana strategi yang digunakan responden untuk mengupayakan Work-Life Balanced, terutama untuk wanita karir yang telah menikah dan berprofesi sebagai pialang saham. 

Hasil penelitian yang dijabarkan memberikan temuan-temuan yang akan menjawab pertanyaan penelitian. Hal yang berbeda dari penelitian ini adalah temuan strategi lain yang tidak ditemukan pada teori mengenai starategi Work-Life Balancedyang dikemukakan oleh Fisher (2006), yaitu mengenai sikap kedewasaan individu tersebut untuk menerima resiko pekerjaannya yang bisa menyita waktu banyak, serta memegang teguh kesepakatan bersama yang telah di diskusikan dengan sang suami dalam pembagian waktu dalam urusan pekerjaan dan rumah tangga. Berikut ini adalah strategi Work-Life Balancedyang ditemukan pada responden. 

Melakukan Kegiatan Sesuai Dengan Kebutuhan Individu


Responden mengungkapkan bahwa pada saat tertentu, ia memiliki tugas pekerjaan banyak dan secara tidak langsung dilema peran pun terjadi, maka secara tidak langsung responden pun memilih aktivas yang paling penting untuk dilakukan terlebih dahulu apakah dalam hal keluarga atau pekerjaan.
“Pas anak-anak lahir ya, tante cuti dulu donk dari kantor sampai beberapa bulan begitu, nah keluarga tante dan om kan semuanya ada di Jogja, sedangkan di Makasar ya tante istilahnya berdua saja sama Om” (W: 23-25).

Di samping itu, reesponden pun mengakui bahwa saat tugas pekerjaan sedang banyak-banyaknya, ia pun tetap ingat akan kebutuhan keluarganya, sehingga sebisa mungkin setelah pulang bekerja, ia meluangkan diri untuk berbelanja dalam rangka memenuhi kebutuhan suami dan anak-anak. Dalam urusan ini, responden tidak mendelegasikan kepada orang lain, karena ia benar-benar mengetahui apa yang suami dan anak-anak butuhkan.

“Nah. K’lo itu lain ceritanya, tante ma om harus ngalah selama seminggu untuk bisa lebih fokus mempersiapkan anak-anak dengan mengajari mereka mengerjakan latihan-latihan soal, apalagi Alya tante biasa mengajarinya sampai jam 11 malam, ya alhamdulialh nilainya baik” (W: 112-115).

Mendelegasikan Tugas-Tugas Untuk Aktivitas Tertentu


Responden pun mengetahui bahwa profesi pialang saham bukanlah profesi dengan pekerjaan mudah, banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan, sehingga ia membutuhkan orang lain untuk membantunya. Berdasarkan hasil penelitian, responden mengakui bahwa pembagian tugas masih berada dalam ruang lingkup keluarga, tetapi sebelumnya responden tidak secara langsung meminta anggota keluarga yang lain untuk melakukan tugas tertentu, tetapi responden arahkan dan ajarkan terlebih terutama untuk anak-anak. Pembagian tugas tidak hanya berada di tangan responden, tetapi juga hasil berdiskusi dengan suami.

“Begini, anak-anak bangun jam 6 pagi lalu mereka mandi dan berganti seragam sendiri, baju sudah tante gantungkan ditempat yang mudah di jangkau sama anak-anak. Lalu mereka sarapan, di meja sudah tante siapkan roti dan bermacam-macam selai, mereka bisa menyiapkannnya sesuai dengan selera mereka, tante tinggal buatkan susu, kemudian mereka langsung memakai sepatu sendiri, dan bersiap-siap karena ayahnya kan mengantar mereka ke sekolah” (W: 79-84).
Di samping anak-anak dan suaminya, responden pun mengakui bahwa ia tinggal bersama dengan kakaknya yang perempuan. Responden merasa terbantu dengan kehadiran kakaknya, ia bisa bekerja dengan tenang dengan meninggalkan anak-anaknya karena suaminya pun juga bekerja, walaupun berwirausaha dirumah, tetapi pada saat suaminya berbisnis diluar kota, responden tidak perlu khawatir.
“Hmm... kebetulan kan tante tinggal ma kakak tante, ya tante ikut sama sama kakak tante aja, terutama untuk anak-anak, nanti tinggal patungan beras ma lauk aja ma kakak tante, tapi k’lo weekend tante masak kok buat mereka. Mereka senang sekali jika di masakkan ikan” (W: 90-93).

Di sisi lain, responden pun memiliki pemikiran panjang, walaupun anak-anaknya sudah dipersiapkan makan oleh kakaknya, responden pun mengetahui bahwa anak-anak kadang sulit mengungkapkan apa yang mereka ingin makan, kecuali pada ayah dan ibu mereka, oleh karena itu, responden rela mempersiapkan stok makanan di kulkas yang bisa di pilih oleh anak-anak untuk di masak. Kebetulan pula, responden telah mengajari anaknya yang tertua untuk bisa memasak sendiri, tetapi masih dalam hal yang simpel, serta tetap butuh pengawasan, tetapi secara tidak langsung pendelegasian tugas ini bisa membuat anaknya belajar mandiri sejak kecil.

“Hmm...kebetulan juga tante sudah antisipasi, di kulkas sudah tante siapkan berbagai bahan makanan dan cemilan, jadi jika tidak cocok bisa minta bantuan ayahnya atau budenya untuk memasakkannya, tapi Alya kebetulan sudah bisa masak sendiri untuk makanan- makanan simpel, tapi memang masih tetap diawasi he..he” (W: 94-97).

Melakukan kegiatan Di Satu waktu


Karena banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan dalam berbagai peran, maka tidak heran jika responden sering melakukan dua peran dalam satu waktu. Responden pun mengakui bahwa pada awalnya pun sulit, tetapi lama kelamaan menjadi terbiasa bahkan membuat responden menjadi lebih gesit dalam menghadapi situasi dan kondisi.

“Nah kebetulan juga, sekarang kan banyak jejaring sosial, nah di sela-sela kejenuhan kerja tante sering berkomunikasi mereka lewat jejaring sosial tersebut, ya baik menanyakan kabar atau menyusun rencana piknik bersama he..he..he.” (W: 131-133).

Melaksanakan Hobi


Responden mengungkapkan bahwa meskipun kegiatan dalam berbagai peran sangat banyak, dan tiada habisnya, tetapi responden tetap membutuhkan rileksasi.
“Begini mbak ika..dari hari senin sampai jumat, tante memang fokus untuk bekerja, benar-benar fokus untuk bekerja, tapi pas jumat atau sabtu  malam tante terbuka menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh teman tante, bahkan di minggu pagi tante sering mengundang teman untuk main ke rumah tante, kami ngobrol-ngobrol layaknya cewe lah..he..he. Intinya sih tante terbuka ma teman-teman tentang kapan waktu luang tante, jadi mereka mengerti” (W: 125-130).

Berdasar pernyataan responden diatas, dapat disimpulkan bahwa responden sebelumnya sudah mengatur waktu, ia meluangkan waktunya untuk refreshing hanya pada saat weekend saja, dan responden fokus akan hal tersebut. Pada saat weekeend, adalah kesempatan responden untuk bersosialisasi dengan teman-temannya, menghabiskan waktu bersama, dan menghadiri acara-acara tertentu. Responden pun sangat terbuka dengan dengan teman-temannya mengenai waktu luangnya, sehingga tidak heran ketika weekend responden banyak mendapat undangan untuk berkumpul dengan teman-temannya, karena teman-temannya telah mengerti kesibukannya. Responden pun menambahkan, saat berkumpul dengan teman-teman, ia tidak jarang mengajak suami dan anak-anak.

Berbagi Pengetahuan


Responden mengaku sebelum mendelegasikan tugas secara mandiri kepada pengasuh atau anak-anaknya, responden melatih mereka terlebih dahulu sampai mereka bisa melaksanakan peran dan tanggung jawabnya. 

“soal urusan rumah tangga tante sudah memberi instruksi sama si mbak sebelumnya, istilahnya tante trainig dulu lah, mengenai penggunaan mesin cuci, jemurnya dimana, bagaimana peletakkan barang-barang, cara memasak, bersih-bersih pokoknya dah tante persiapkan dulu sebelumnya, jadi gak langsung tante biarkan begitu saja, sudah tante buat jadwalnya kok..ya” (32-36).

Sebenarnya pernyataan tersebut dilaksanakan pada saat responden masih bekerja di perbankan sebelum pindah menjadi pialang saham, tetapi peneliti mengasumsikan bahwa strategi tersebut dapat digunakan pada wanita karir dalam profesi apapaun. Responden mengakui bahwa  pada saat cuti melahirkan , itulah kesempatan baginya untuk memberikan training kepada pengasuhnya mengenai urusan rumah tangga dan penjagaan anak-anak, sehingga ketika responden bekerja kembali, pengasuh sudah mengerti dengan jelas akan tanggung jawab pekerjaannya. Kemudian saat anak-anak sudah mulai SD, responden mulai melepas si pengasuh, dan mulai mengajarkan anak-anaknya mengenai peran dan tanggung jawab mereka. 

“Anak-anak saya berikan kesempatan untuk membuat jadwal bagi diri mereka masing-masing, ya tentunya tante bantu, setelah itu jadwalnya tante tempel di depan lemari mereka jadi mereka sudah paham apa yang harus mereka lakukan, k’lo lupa ya lihat jadwalnya lagi saja. Nah di jadwal itu,tante buat seperti surat perjanjian bahwa mereka akan mematuhinya, dan ditandatangani mereka pula, jadi ya ada rasa tanggung jawab sudah tante tanamkan. Karena Alya seorang kakak, maka tante mintakan tolong untuk selalu menjaga adiknya, Julia” (W: 71-78).

Menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial


Melakukan Komunikasi Terbuka


Salah satu rahasia yang terpenting dari responden dalam mengupayakan Work-Life Balancedadalah sikap terbuka terhadap orang-orang terdekatnya mengenai pekerjaannya, bahkan responden sebelum menikah,responden mengungkapkan keinginan dirinya untuk tetap menjadi wanita karir terhadap calon suaminya pada waktu itu.  Hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan di bawah ini:

“Hmm.. sebetulnya sebelum menikah Om dan Tante punya kesepakatan bahwa tante di ijinkan bekerja untuk bisa mendukung kebutuhan rumah tangga juga dan tante memang bukan tipe wanita yang betah melakukan pekerjaan rumah tangga terlalu lama, Om pun mengerti dan di ijinkan” (W: 17-20).

Selain itu, responden pun terbuka terhadap teman-temannya mengenai pekerjaannnya, responden dari awal sudah berkata jujur, bahwa ia bisa berkumpul dengan teman-temannya atau menghadiri berbagai acara tertentu, yaitu pada saat weekend sehingga teman-temannya mengerti dan mengajaknya pergi hanya pada saat weekend. 

Melakukan Aktivitas Sosial Pada Umumnya 


Walaupun pekerjaan pialang saham sangat menyita waktu karena harus siap selalu dalam memantau harga saham, tetapi responden masih meluangkan waktu khusus, yaitu pada saat weekend untuk bersosialisasi dengan teman-temannya.
“Begini mbak ika..dari hari senin sampai jumat, tante memang fokus untuk bekerja, benar-benar fokus untuk bekerja, tapi pas jumat atau sabtu  malam tante terbuka menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh teman tante, bahkan di minggu pagi tante sering mengundang teman untuk main ke rumah tante, kami ngobrol-ngobrol layaknya cewe lah..he..he. Intinya sich tante terbuka ma teman-teman tentang kapan waktu luang tante, jadi mereka mengerti” (W:125-130).

Melakukan Aktivitas Bersama Keluarga


Di sela-sela pekerjaan yang padat, responden pun tetap menyempatkan diri agar bisa melakukan aktivitas bersama keluarga setiap harinya. Responden mengungkapkan bahwa, pada jam makan siang, responden menyempatkan diri untuk pulang dan makan siang bersama dengan anak-anak serta suami. Hal tersebut dilakukan sejak ia mulai kerja di perbankan sampai beralih menjadi pialang saham.
“Tapi pada saat makan siang tante sempatkan untuk makan dirumah, bersama suami dan anak-anak, lalu balik lagi ke kantor (sambil tersenyum)” (W:88-89).

Berbagi Tugas Rumah Tangga dengan Suami


Responden merupakan orang yang memiliki komitmen tinggi baik terhadap pekerjaan maupun terhadap keluarganya. Hal apa pun yang telah menjadi kesepakatan bersama responden pun berusaha untuk melaksankan dengan sebaik mungkin. 
“Oh..Om ma gampang, dia tahu apa yang harus dia lalukan, kebetulan Om kalo makan ya beli lauk sendiri, sesuai dengan seleranya atau gak saat makan siang tante di jemput di kantor dan kami makan bersama he..he. Ya pokoknya kami sudah terbiasa membagi tugas pekerjaan lah” (W: 98-101).

Menikmati Profesi Pekerjaannya


Responden mengungkapkan bahwa ia sangat sadar akan tanggung jawab pekerjaannya, yang cukup menyita waktu, dan hampir membawa pekerjaan setiap hari ke rumah, dan juga harus berbagi waktu untuk keluarga, tetapi responden dengan tidak mengeluh dan menikmati perkejaannya.

“Hmm..harus ada strateginya mbak ika, jadi tante biasa pulang jam 6 sore, setelah itu mandi kemudian berkumpul bersama suami dan anak-anak, makan malam bersama, biasanya Om sudah menyiapkan dengan membelikan lauk, lalu menonton tv bersama, lalu mengajak anak-anak buat belajar dan mengerjakan PR. Setelah mereka tidur, baru tante istirahat sebentar, bangun tengah malam dan melanjutkan pekerjaan, biasanya sich k’lo Om gak cape, ya menemani tante” (W: 106-111).

PEMBAHASAN


Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variasi strategi yang digunakan oleh seorang wanita karir yang berprofesi sebagai pialang saham sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori yang diungkapkan oleh Fisher (2006) mengenai strategi dalam upaya pencapaian Work-Life Balanced, yaitu outsourcing (pengalihan tugas terhadap orang lain), alternating (melakukan relaksasi atau ditengah-tengah pekerjaan yang padat), bundling (melakukan beberapa tugas dalam waktu yang bersamaan), simplifying (memilih tugas yang paling penting untuk dikerjakan terlebih dahulu), techflexing (menggunakan teknologi  untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan sehingga menjadi lebih fleksibel). 

Di samping strategi yang disampaikan oleh Fisher (2006) kemudian dibandingkan dengan kondisi dilapangan menunjukkan bahwa sesungguhnya ada beberapa strategi lagi yang di upayakan oleh seorang wanita karir dalam mengupayakan Work- Life Balance dan strategi tersebut bersifat internal atau dari dalam individu sendiri, yang pertama adalah kesadaran akan peran profesi dalam pekerjaannya dan dalam keluarganya, sehingga dalam perjalanan responden menjalani beberapa peran sekaligus dalam kehidupannya tidak membuat responden mengeluh karena responden sadar betul akan keputusan hidup yang ia ambil. Kedua, adalah komitmen dalam menjalankan pembagian tugas yang telah di sepakati bersama dengan suami. Dalam hal ini, kerjasama dan dukungan suami sangat dibutuhkan agar tidak terjadi ketimpangan peran.

Profesi pialang saham bukanlah profesi yang mudah, dimana profesi tersebut memiliki beban kerja yang sangat tinggi dan pengetahuan yang harus selalu di update mengenai saham. Bisa dikatakan profesi tersebut membutuhkan tenanga dan fisik yang cukup kuat dalam menjaga stabilitas saham yang telah di titipkan kepada pialang saham. Responden mengakui bahwa kegiatan lembur sudah bukanlah hal yang aneh bagi dirinya, tetapi ia pun tidak mengeluh karena menjadi seorang pialang saham sudah menjadi keputusannya. Responden sangat menyukai pekerjaan tersebut bahkan ketika masih bekerja di perbankan, responden masih menyempatkan diri untuk berbisnis saham dengan teman-teman dekatnya. Setelah memiliki keyakinan diri, responden memutuskan untuk berhenti bekerja di perbankan dan benar-benar total untuk menjadi seorang pialang saham. 

Responden pun mengakui bahwa sebelum menikah, responden memang senang sekali bekerja dan responden sudah memiliki target bahwa setelah menikah, responden bisa tetap di ijinkan bekerja. Selama peneliti melakukan observasi dan wawancara, peneliti melihat bahwa responden memang sosok yang selalu memiliki persiapan yang tinggi untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak di inginkan dalam pelaksanaan peran sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga, oleh karena itu responden dengan sebaik mungkin telah mempersiapkan solusi dalm mengantisipasi ketimpangan peran. Responden juga mengunkapkan komunikasi di antara anggota keluarga adalah hal yang paling penting dalam setiap pengambilan keputusan. Setiap keputusan yang ingin diambil terlebih dahulu di diskusikan kepada suaminya, setelah itu baru di terapkan dengan penuh komitmen oleh kedua pihak. 

Berkaitan dengan strategi outsourcing, seperti yang di istilahkan oleh Fisher (2006), responden bekerja sama dengan suami dan kakaknya dalam hal menjaga anak-anak saat responden bekerja. Kemudian, saat di waktu luang responden pun mengajarkan anak-anaknya untuk berlatih disiplin dan kemandirian dari sejak dini. Kemudian, responden juga mengajarkan kepada anak pertamanya mengenai tugas dan peran tanggung jawab seorang kakak dalam menjaga adiknya dan membantu adiknya saat si adik dalam kesulitan. Dalam hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa kerjasama dan komunikasi adalah hal yang penting dalam mengupayakan Work-Life Balanced.

Walaupun pekerjaan tidak pernah ada habisnya, responden mampu memanajemen diri untuk membatasi jumlah hari dalam bekerja, yaitu lima hari kerja, setelah itu sisanya ia habiskan untuk refreshing bersama dengan keluarga atau dengan teman-temannya, disini pulalah kegiatan sosialisasi bisa di aktualisasikan secara optimal dimana ia tidak perlu membawa beban kerja saat ia berkumpul dengan keluarga dan teman-temannya. Responden memiliki prinsip bahwa ketika bekerja, ia akan fokus untuk bekerja, ketika libur ia akan fokus untuk berlibur. 

Selanjutnya, berkaitan dengan strategi bundling, responden sadar betul bahwa kejenuhan sering ia alami saat bekerja, namun karena saat ini banyak sosial media, responden mengatasinya dengan membuka-buka akun jejaring sosial dan berdiskusi bersama teman-temannya mengenai perencanaan acara yang akan mereka lakukan saat weekend nanti. Kegiatan tersebut diakui responden untuk refreshing sejenak di tengah-tengah kepenatan pekerjaan di mana ia sulit untuk keluar dari kantor.

Pada penerapan strategi simplifying, pada saat anak-anaknya akan menghadapi ulangan umum, responden mengalah dulu dalam pekerjaannya, responden akan pulang lebih awal dari kantor dan menemani anaknya belajar. Di samping itu, hal tersebut dilakukan responden untuk mendamaikan hati anak-anaknya agar bisa tenang mengerjakan ulangan umumnya karena sebelumnya telah di dampingi oleh ibunya. Di sisi lain, responden pun setiap minggu tidak lupa menyiapkan stok bahan makanan di kulkas, untuk mengantisipasi jika anak-anaknya jenuh dengan masakan kakak responden, sehingga anak-anak dapat memilih menu apa yang mereka inginkan karena bahan bakunya sudah di siapkan ibunya di kulkas.

Selain empat strategi tersebut, ada beberapa strategi lain yang tidak di temukan di dalam teori, yaitu sharing knowledge (berbagi pengetahuan). Ketika responden memiliki waktu luang, responden mengajari anak-anaknya mengenai cara membuat jadwal kegiatan, menggosok baju, serta menaruh benda-benda berdasar tempatnya. Hal tersebut sudah di tanamkan responden agar anak-anaknya bisa mandiri dan bisa menjalankan peranan mereka dengan baik tanpa harus orangtua memberikan perintah. 

Kemudian, seperti yang telah di bahasa sebelumnya ada faktor internal dalam diri responden yang juga merupakan strategi dalam menciptakan Work-Life Balanced, yaitu komitmen dalam menjalankan keputusan bersama. Responden sangat menyadari betul bahwa tenaganya terbatas dan membutuhkan orang lain juga yang bisa di ajak bekerja sama untuk meringankan beban peran kerjanya, dan orang tersebut adalah suaminya. Responden mengakui bahwa sikap saling percaya dan terbuka terhadap pasangan akan hal apapun adalah kunci utama dalam menupayakan Work-Life Balanced. 

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan 


Berdasarkan hasil penelitian, ada delapan strategi yang di gunakan oleh wanita karir yang berprofesi sebagai pialang saham, empat diantaranya tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dijelaskan oleh Fisher (2006) mengenai strategi dalam upaya pencapaian Work-Life Balanced, yaitu Simplifying, Outsourcing, Bundling, dan Alternating. Selanjutnya strategi lain yang digunakan oleh si Subjek yang didasarkan pada pengalaman hidupnya adalah sharing knowledge, menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial, berbagi tugas dengan pasangan, serta memiliki pemaknaan terhadap profesi pekerjaannya. 

Saran


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu wacana untuk wanita karir, tidak hanya pada profesi pialang saham saja tetapi juga profesi lain dalam menimplementasikan startegi dalam pengupayaan Work-Life Balanced. Di sisi lain, peneliti pun berharap untuk bisa melakukan eksplorasi data secara mendalam menganai strategi-startegi apa saja yang digunakan dalam pengupayaan Work-Life Balancedbagi wanita karir yang memiliki peran ganda. Secara lebih lanjut, peneliti mengharapkan agar peneliti selanjutnya bisa mengeksplor secara lebih mendalam mengenai dampak dari strategi Work-Life Balanceddengan menggunakan data yang lebih heteregeneous, seperti pada fenomena Work-Life Balancedpada single parent. Hal tersebut bertujuan untuk bisa menemukan strategi lain yang di gunakan dalam upaya pencapaian keseimbangan hidup. 

DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, P. (2006). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka cipta. 
Frieda., & Maya. (2012). Wanita Karir Rentan Terkena Masalah. <http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/wanita/2012/10/24/1373/Wanita-Karir-Rentan-Terkena-Masalah>
Fisher, A. (2006). How Can I Do it All?<http://money.cnn.com/2006/03/07news/economy/annie/fortuneannie> archieve/index.htm
Greenhaus, J. H., & Collins, K. M. (2002). The relation between work–family balance and quality of life: Journal of Vocational Behavior, 63 (1).
Heckerson, E. W. (2006). The critical importance of maintaning a Work-Life Balanced. Nurse Leader, 26 (1),1-4.
Lockett, K. (2008). Work-Life Balancedfor Dummies. Australia: Wiley Publishing. 
Moleong, L. J (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
O’Neil, D.A., Margaret, M.H., & Diana, B. (2008). Women’s career at the start of the 21st century: Patterns and Paradoxes. Journal of Business Ethics, 80, 727-743. 
Paula, B., & Kalliath, T. (2007). Work-Life Balanced: A review of the meaning of the balance construct. Australia: Canberra ACT.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitataif dalam penelitian psikologi. Jakarta: FP Universitas Indonesia.
Southworth, E. (2014). Shedding gender stigmas: Work life balanced  equity in the 21st century. Harvard Business Review.
Utami, D.S. (2011). Work balance strategy among dual-career lecturer women: a case study in the department of architecture (Thesis tidak dipublikasikan). Universitas Gadjah mada, Yogyakarta.
Westman, M., Vinokur, A.O., Hamilton., & Ruziner, I. (2004). Crossover of marital dissafaction dring downsizing among russian army officer & their spouses. Journal of Applied Psychology, 89, 769-779.

Disusun oleh :  Ika Wahyu Pratiwi

Postingan populer dari blog ini

Mekanisme Transaksi di Pasar Modal, Mekanisme Transaksi di Pasar Perdana, MekanismeTransaksi di Pasar Sekunder

Pengertian Transfer, Safe Deposit Bok, Bank Garansi, Kliring, Bancassurance, Debit Card

Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam L/C (Letter of Credit), Pembeli, Penjual, Bank Pembuka, Issuing Bank, Ketentuan Legalitas