Mata Uang Sebagai Alat Tukar Menurut Pandangan Pakar Islam
Sejarah Perkembangan Penggunaan Uang
Dalam sejarah perkembangan ekonomi membutuhkan sebuah alat tukar yang penggunaannya kekal sepanjang zaman. Alat tukar yang paling tahan dan tidak luntur seiring waktu adalah barang-barang dari logam, contohnya : emas, perak, dan tembaga. Dengan adanya perdagangan akan menimbulkan kebutuhan akan adanya mata uang sebagai alat tukar. Contohnya, orang yang akan membeli makanan dengan kain, dari manakah dia mengetahui nilai yang sama untuk harga makanan itu, sedangkan dalam pergaulan menghendaki terjadinya jual beli antara barang yang berbeda, seperti kain dengan makanan, hewan dengan kain. Padahal barang-barang itu tidak sama harga atau nilainya. Oleh sebab itu, disinilah pentingnya alat tukar yang bernama ”mata uang” itu.
Menurut Imam Al-Ghazali (450–505 H / 1058–1111 M), sejarah membuktikan bahwa pada masa sebelum Nabi Muhammad SAW, orang Arab sudah mengenal adanya mata uang, akan tetapi semuanya itu berasal dari luar wilayah Arab. Mereka mengenal mata uang emas, seperti Dinar dari Romawi dalam perdagangan mereka ke Utara (Syiria), dan mengenal mata uang perak, yaitu Dirham dari Persia dalam perdagangan mereka ke Selatan (Yaman). Barulah pada tahun ke-15 H/536 M, yaitu 4 tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW – Khalid bin Walid – pahlawan Islam terkenal itu membuat mata uang sendiri di Thabariyah, daerah Syiria. Dalam pembuatan mata uang pertama itu masih meniru mata uang Romawi. Ia melukisnya dengan gambar, salib, mahkota, dan tongkat kebesaran, sedangkan di sebelahnya ada tulisan dengan huruf Yunani BON.
Awal Pembuatan Mata Uang Dinar Islam
Sedangkan mata uang logam perak – Dirham Islam dibuat tahun 28 H/648 M di Thabaristan (Persia), di mana pada pinggiran mata uang itu ada huruf Arab dengan huruf Kaufah, yaitu Bismillahi Rabbi.
Mata Uang Islam Pertama
Adapun mata uang Islam yang pertama kali dicetak oleh kantor percetakan negara Islam baru terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwandari dinasti Bani Umayyah (65-86 H/685-705 M), sesudah merundingkannya dalam musyawarah dengan para ulama dan pemuka. Tujuan dari pembuatan mata uang tersebut terdengar oleh Keizer Romawi yang menganggapnya telah merusak hubungan ekonomi antara Arab dan Romawi.Ia mengirimkan surat ancaman kepada Khalifah Abdul Malik agar menghentikan usahanya itu demi hubungan baik antara kedua negara.
Kalau diteruskan juga, tulisan atas nama mata uang harus ditambahkan kata-kata yang tiada sangkut pautnya dengan Islam atau kata-kata yang menghina Nabi SAW. Ancaman tersebut menyebabkan Abdul Malik menganggapnya sebagai kebulatan pendapat dari seluruh umat, termasuk oposisi pada waktu, yaitu partai Syi’ah. Oleh sebab itu, ia mengundang pemimpin partai oposisi, Muhammad Al-Baqir untuk datang ke ibu kota Damaskus untuk memusyawarahkan hal yang penting tersebut. Undangan yang disampaikan kepada pemimpin Syi’ah terpenuhi dan berakhir dengan persetujuan bulat atas maksud baik Khalifah Umayyah, demi kebangkitan perekonomian umat Islam. Dalam mata uang Dinar dan Dirham itu dilukis kalimah tauhid dan disebelahnya ditulis nama Nabi SAW, serta menyebut nama negeri, dan tahun mencetaknya. Mata uang Islam yang pertama ini diberi nama Dimaskiyah, sesuai dengan nama kota tempat mencetaknya, Damaskus.Khalifah mengirimkan mata uang itu ke seluruh negara, memerintahkan supaya seluruh mata uang Romawi dan Persi dibekukan, serta tidak boleh beredar lagi.
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa mata uang berfungsi sebagai alat tukar dan nilai harga dalam seluruh transaksi ekonomi, ditetapkan menurut mata uang sendiri.
Oleh karena itu, Al-Ghazali mengecam orang yang menimbun uang. Orang demikian dikatakannya sebagai penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka ini dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada Sang Pencipta dan kedudukannya lebih rendah dari orang yang menimbun uang, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran, sedangkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamannya.
Larangan Peredaran Mata Uang Palsu
Peredaran uang palsu sangat dikecam Al-Ghazali karena kandungan emas/peraknya tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Mencetak uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang itu dipergunakan dan akan merugikan siapa pun yang menerimanya dalam jangka waktu lama.Al-Ghazali memperbolehkan uang yang tidak terbuat dari emas/perak, seperti uang logam dan uang kertas yang saat ini banyak digunakan asalkan pemerintah menyatakannya sebagai alat bayar resmi dan demikian juga pendapat Ibnu Khaldun, hanya saja pemerintah wajib menjaga nilai uang yang dicetaknya karena masyarakat menerimanya tidak lagi berdasarkan berapa kandungan emas/perak didalamnya. Misalnya, pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 yang setara dengan ½ gram emas. Apabila kemudian pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 seri baru dan ditetapkan nilainya setara dengan ¼ gram emas, maka uang akan kehilangan makna sebagai standar nilai.
Namun Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah melarang perdagangan mata uang Dinar dengan Dinar karena akan menghilangkan fungsi dari uang itu sendiri, di samping akan menimbulkan inflasi.
Seperti pasar uang yang terjadi saat ini, di mana sebagian besar uang dipergunakan untuk memperdagangkan uang itu sendiri.
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, mata uang berfungsi sebagai alat penukar dan pengukur harga sebagai nilai usaha, alat perhubungan, dan alat simpanan dalam bank-bank.
Sumber : Mata Uang Sebagai Alat Tukar Menurut Pandangan Pakar Islam
Komentar
Posting Komentar